Friday, June 5, 2009

Aku Santri, Aku menjahit Sorban(mu)

Oleh : Abdul Waid*

"Jangan cemarkan nama baik pondok pesantren! tarik buku itu dari peredaran, secepatnta! Buanglah pasal sampah itu, segera! Ingat, kamu bisa menjadi seperti sekarang karena jasa pondok pesantren, kalau masih tetap ngiyel, saya laporkan kamu ke kiai....."

Itulah pesan singkat dari seorang ustad terhormat di pesantren yang masuk ke ponselku, beberapa waktu lalu. Logikaku mencoba mentafsir pesan singkat itu. Yaitu, sebuah dampratan untuk Sorban Yang Terluka, buku yang detik ini telah berjejer di rak-rak toko buku di beberapa kota. Demikian pun, aku juga menerka, pesan itu adalah sebuah ungkapan protes (tidak terima) dengan kehadiran Sorban Yang Terluka. Seakan-akan, pesan itu menyuguhkan makna prosa lain yang berbunyi, sorban kiai tak pernah terkoyak, terluka, kecuali goresan penamu itu yang mengoyak dan melukainya.

Entah sudah berapa banyak pembaca, termasuk ustad yang mengirim pesan itu, tidak terima dengan beredarnya Sorban Yang Terluka. Aku, pewaris kata dan hayal dalam buku itu, seakan distempel sebagai santri murtad, menfitnah pesantren, bahkan menjurkirbalikkan pesantren ke dasar samudera penuh hina. Siapa saja, termasuk Anda, boleh saja menuduhku demikian, tentu saja.

Tapi, ingatlah, aku santri, kugoreskan penaku untuk kelahiran Sorban Yang Terluka, demi menjahit sebuah sorban mulia di pesantren yang mulai terkoyak, terluka oleh "angkara murka" segelintir penghuninya. Engkau jangan menutup mata, hari ini, berapa banyak cerita miris yang tersimpan rapi, terbungkus sunnah, mengakar di pesantren? Akankah kenyataan itu kita biarkan selamanya?

Aku memberitahu dengan sebenarnya, para pembaca. Pesantren itu sangat mengasyikkan. Hidup di dalamnya, akan terasa nikmat, kendati santri tak akan menemukan kasur empuk. Tak perlu berdebat tentang pesantren. Tapi, setelah mencicipinya, siapa pun pasti berkesimpulan, pesantren adalah lorong utama untuk menanam cinta; cinta kepada Yang Esa, ilmu, orang tua dan sanak saudara, sahabat, pasangan fillah, nenek moyang, bahkan cinta kepada tumpah darah dan ibu pertiwi.

Tapi ingat, pohon cinta di pesantren tak kan pernah tumbuh sempurna jika cerita miris itu masih terpelihara. Karena itu, wahai para pecinta pesantren, Sorban Yang Terluka berdiri di atas garis lurus, membersihkan cerita miris dan kenaifan di pesantren, dan yang paling penting, menjahit sorban(mu).



*Penulis Buku Sorban Yang Terluka (2009), saat ini sedang menggores pena dan memanja anak kata untuk kelahiran prosa-prosa "Sengsara Membawa Rahmat Cinta" (tunggulah dia).

No comments:

Post a Comment

komentar Anda sangat membantu kami mengembangkan isi blog ini...terimakasih!