Thursday, February 12, 2009

Wacana: mairil—sebuah praktik homoseksual yang unik

Seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang ditabukan di lingkungan pesantren. Namun, faktanya pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Muncullah praktik seks (atau cinta?) sejenis atawa homoseksual, yang di pesantren popular dengan sebutan mairil. Praktik ini berjalan secara diam-diam, bahkan mungkin diketahui oleh sang kiai.
Mairil sudah menjadi khasanah klandestin di pesantren, bahkan kadang menjadi bahan guyonan renyah. Humor ini biasanya terjadi ketika ada santri baru datang ke pondok. Anak atau remaja yang belum tahu apa-apa tentang pondok pesantren ini akan disuruh untuk menghadap santri-santri senior, istilahnya perkenalan atau sowan. Nah, para penggojlog ini menyuruh si anak bilang begini pada sang senior: "Pak, saya mau mairil", atau "pak, saya siap di-mairil", dan sejenisnya. Para senior ndlowor itu biasanya bilang kalo mairil artinya adalah belajar atau ngaji atau apalah.
Nah, satu buku yang mengungkap wacana tentang mairil adalah novel berjudul Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin.
Berikut ini ungkap Ridwan Munawwar :

"Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.
Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop. Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal).
Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant. Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn 'Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya? Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan.
Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elit pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya."


Yang unik dari perilaku mairil ini, adalah bahwa homoseksualitas biasanya hilang ketika sang pelaku lulus (pindah) dari lingkungan pesantren, dan bisa hidup normal dengan perempuan (istri). Jadi, homoseksualitas terjadi karena faktor tekanan lingkungan dan dorongan seks yang tidak bisa tidak harus disalurkan.

Anyway, bagaimana dengan kisah homoseksualitas dalam buku Sorban yang Terluka? Silakan tunggu dan simak bukunya…

10 comments:

  1. perlu ada pelurusan tentang kehidupan homoseksual..bahwa semua itu adalah menyimpang...

    ReplyDelete
  2. Suka atau tidak suka akan fakta mairil, sungguh hal itu benar-benar terjadi. seorang sahabat saya bahkan tidak (bisa) merubah kebiasaan mncintai sesama jenis meskipun pada saat ini dia telah lama lulus dari sebuah pondok pesantren... yg perlu kita tanyakan adalah bukan MENGAPA itu bisa terjadi TAPI tanyakan BAGAIMANA cara meminimalisair penyimpangan yg telah terjadi itu.....

    ReplyDelete
  3. biasanya, komentar tentang postingan mairil ada pro dan kontra, kita ambil jalan tengah atau sisi positifnya aja. biasanya yang pro mengatakan hal tersebut wajar dan bukan hal yang tabu lagi karena si komentator pro dia sudah merasakan yang namanya mondok bertahun tahun lamanya di pondok salafy, sedang yang kontra, mereka biasanya tidak pernah mondok sehingga menganggap hal tersebut tabu dan dosa (emang dosa) namun tidak menutut kemungkinan jika si kontra mondok, mungkin akan di mairil atau menjadi pelaku mairil, karena secara jelas di postingan atas disebutkan bahwa mairil bukan suatu kehendak sadar santri untuk berhomoseksual karena secara logika dia jelas tahu hukumnya homo, namun lebih sekedar hanya perilaku bawah sadar karena terdorong nafsu yang sangat kuat, apalagi jika mondoknya pada umur yang relatif puber, maka secara otomatis dia akan mencari pemuas hasrat libidonya yang memuncak, namun hanya kala mondok, karena terbukti setelah keluar,mereka tetap menikah dengan lawan jenis. perlu digaris bawahi, bahwa biasanya mairil tidak pernah melakukan sodomi melalui anal sex seperti yang kebanyakan homoseksual lakukan. saya mengetahui hal ini berdasar wawancara yang telah saya lakukan berkali kali terhadap santri pondokan. terima kasih atas perhatiannya.

    ReplyDelete
  4. ironis memang,
    Alhamdulillah, di pondok tempat saya belajar ( jawa barat )tidak ada istilah tersebut, bagaimanapun kesucian pesantren harus di jaga dari segala kemunkaran. karena kemunkaran adalah kemunkaran, urusan syahwat pun ada penyaluran yang tepat dan halal.

    ReplyDelete
  5. asnjing, homoseksual dibilang GUYONAN RENYAH, pantas islam terbelakang, bodoh pecundang dunia, smoga Allah masih menaguhkan laknatnya kepada kaum Nabi Luth ini , dasar asu homo.

    ReplyDelete
  6. yang komen diatas gw begok banget. bisanya marah g ngasih solusi.. mereka bukan untuk dibenci tp untuk disembuhkan.
    ketahuan kalo yang komen diatas gw bukan orang berpendidikan..

    ReplyDelete
  7. HEhehehehe, di pondok pesantren saja terjadi peraktek Homoseksual bagemana dengan di luar pondok. saya yakin jauh lebih banyak Homo nya. heheheheheh

    ReplyDelete
  8. ai ai ai.... tujuan mulia yang kebablasan.....intensita pertemuan dengan lawan jenis yang terlalu di kekang malah mengundang masalah yang jauh2 lebih besar. yaitu ZINA HOMOSEKSUAL, LIWATH......!!!!!

    ReplyDelete
  9. Makanya kawinin aja tuh anak2 pada umur muda. Gak usah bikin anak dulu. Yang penting bisa "hubungan suami istri". Di sekolahin ke SMP= pesta seks (kaya di SMP 4). Di sekolahin di Pondok, digesek2. Perlu diingat bahwa homoseksual bukan hanya ada di Pondok. Di luar Pondok di mana dunia sedemikian bebas sehingga 51% anak SMP tidak perawan (di kota besar), ternyata komunitas homoseksual justru merajalela. Kalau di Pesantren ada. Kalau di luar= BANYAAAAAK

    ReplyDelete

komentar Anda sangat membantu kami mengembangkan isi blog ini...terimakasih!