Oleh : ABDUL WAID *
Oh pondokku, tempat naung kita.
Dari kecil, hingga dewasa.
Rasa bathin, damai dan sentosa. Dilindungi Allah Ta’ala.
Oh pondokku, engkau berjasa.
Pada ibuku Indonesia.
Tiap pagi dan petang, kita beramai sembahyang.
Mengabdi pada Allah Ta’ala, di dalam kalbu kita.
Wahai pondok tempatku, laksana ibu kandungku.
Nan kasih serta sayang padaku,
Oh pondokku,
Ibu-ku....
Sampai kapanpun, saya tak mungkin melupakan himne itu. Saya selalu menyanyikannya dalam setiap acara resmi yang diadakan di pesantren. Indah dan syahdu terasa di hati, bergitu perasaan terpancar setiap menyanyikan lagu itu. Berangkat dari ”lagu wajib” pesantren itu, saya memberanikan diri menggoreskan pena berjudul Sorban yang Terluka demi menyelamatkan khazanah pesantren. Tak ada yang istimewa dari goresan ini, kecuali sebuah asa untuk kembali mempalukan kesucian pesantren.
Pesantren, sebuah kata yang tak pernah lepas dari image misi perbaikan moralitas. Kata banyak orang, jika ingin selamat dari kerusakan etika, masuklah ke pesantren. Atau, dalam rangka memperbaiki karakter seseorang yang dinilai ”buruk”, maka pesantren-lah menjadi alternatif utamanya. Nyatanya, memang wejangan itu kedengarannya tak asing lagi di gendang telingan kita sehingga sulit untuk dibantah.
Singkatnya, pesantren dianggap sebagai ”perusahaan” orang-orang sholeh. Stigma ini bisa saja benar, bahkan bisa saja salah. Lagi pula, seiring dengan perkembangan budaya dari masa ke masa, pesantren telah mulai ”berevolusi” dari hanya sekedar lembaga pendidikan keagamaan, menjadi lembaga yang ”beradabtasi” dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan buku yang saya tulis, orang barangkali akan berpikir, secara ontologis mungkin kurang relevan apabila kita “menaifkan” cerita-cerita kelam di pesantren yang dikenal sebagai lembaga “keramat”. Karena nyatanya, cerita miris seperti pacaran, perzinahan, kemunafikan, homoseksual, lesbian, pornografi, pencurian, perdukunan, ganja, perjudian, mabuk-mabukan, adalah entitas yang tidak berhaluan dengan pesantren.
Logikanya, cerita-cerita itu merupakan sebuah “kewajaran” yang bisa kapan saja dan di mana saja lahir melalui kreasi mahluk lemah ciptaan Tuhan bernama manusia. Sementara itu, pesantren adalah institusi keagamaan dan pendidikan yang juga dihuni oleh mahluk lemah itu (manusia).
Bagi saya, persoalannya bukan terletak pada kewajaran itu, melainkan pada hubungan pemahaman dan pandangan warga masyarakat terhadap pesantren. Jujur saja, pesantren, sebagai lembaga pendidikan keagamaan, sampai sekarang masih dinisbatkan dan dipatok sebagai tempat yang suci. Bak sebuah lautan yang selalu membuang bangkainya ke bibir pantai. Atau, bagaikan sebuah kertas putih yang tak disentuh oleh anak kata dan tinta, tetapi menyampaikan pesan spiritual.
Demikian pun, tak ayal, pada saat lahir cerita kelam seperti pacaran, perzinahan, kemunafikan, homoseksual, lesbian, pornografi, pencurian, perdukunan, ganja, perjudian, masih dianggap sebagai “barang asing” di kalangan santri pesantren. Bahkan, cerita-cerita itu, bagi mayoritas pesantren salaf-konvensional beserta seluruh insan penghuninya masih “diklaim” sebagai barang tabu, atau bahkan “haram”. Pungkasnya, muncul sebuah keyakinan, tak mungkin santri pesantren menjamah cerita-cerita itu sebagai sutradara atau pun aktor pelaku di pesantren.
Namun, Sorban Yang Terluka menyajikan fakta yang berbeda. Di satu sisi, seribu cerita kelam seperti pacaran, perzinahan, kemunafikan, homoseksual, lesbian, pornografi, pencurian, perdukunan, ganja, perjudian yang nyatanya (memang) terjadi di pesantren adalah dampak dari sistem pendidikan pesantren yang terlalu “eksklusif”. Pesantren kurang “percaya diri” memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi para santri sebagaimana di sekolah-sekolah umum. Tapi apa lacur, melalui eksklusifitas itu, lahirlah sebuah iklusifitas pergaulan, sekalipun dilakukan secara “gerilya” oleh santri.
Gerilya itu dilakukan pada saat Sang Kiai dan ustadz lengah. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, ustadzlah yang menjadi aktornya. Bukan tidak mungkin, saya berani mengatakan, justru sebagian besar cerita itu belum diketahui oleh kiai ataupun “petinggi” pesantren. Lantas, siapa yang salah, siapa yang benar? Tentunya para pembaca bisa menjawab sendiri pertanyaan nyindir itu.
Di sisi lain, cerita kelam itu muncul sebagai akibat dari kegagalan pesantren dalam menjaga “sakralitas”-nya dan “kesuciannya”-nya. Bisa saja, pesantren terlalu “PD” dan terlena dengan stigma yang ditancapkan masyarakat bahwa pesantren adalah lembaga “suci”, “sakral” yang jauh dari cerita kelam dan miris. Akibatnya, tak sadar jika penghuninya bisa leluasa berkreasi melalui pacaran, homoseksual, lesbian, pornografi, pencurian, perdukunan, ganja, perjudian, bahkan teler (baca: mabuk-mabukan).
Bertolak dari pemahaman itu, saya mencoba menyajikan sebuah karya sastra seputar cerita-cerita miris di dunia pesantren bertajuk Sorban Yang Terluka. Tak ada maksud lain, kecuali sebuah introspeksi. Tak pernah tebersit dalam benak saya untuk mengecewakan para pencinta pesantren, kecuali meneguhkan cinta itu sendiri. Tak ada tendensi, kecuali apresiasi. Ya, apresiasi saya terhadap pesantren yang telah membuat saya mengerti akan hakikat kehidupan meskipun hanya melalui pendidikan tirakat, dzikir malam, muhasabah, dan lain sebagainya.
Saya sengaja menceritakan pengalaman buruknya saja, karena lebih baik pengalaman buruk yang diceritakan, biar bisa menjadi bahan introspeksi, daripada menceritakan pengalaman baik yang nanti bisa membuat para insan pesantren “terlena”. Dengan ungkapan lain, saya tidak menutup mata, selain cerita kelam itu, tentu masih ada cerita-cerita yang memantulkan kesakralan dan kecucian pesantren.
Selamat membaca.
* Penulis Buku Sorban Yang Terluka (2009), Alumnus Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta HP 085878389448
No comments:
Post a Comment
komentar Anda sangat membantu kami mengembangkan isi blog ini...terimakasih!