Sunday, May 31, 2009

Santri Tanpa Pesantren

Oleh: Abdul Waid*


Santri tanpa pesantren, Tuan dan Puan akan terkejut mendengarnya, mungkin. Bertolak dari goresan penaku, Sorban Yang terluka, rasanya pantas bila muncul gagasan santri tanpa pesantren. Aku ingat dengan sebuah kata bijak, bawalah kelas ke bawah pohon, tapi jangan bawa pohon ke dalam kelas. Apa boleh buat, kelas kini tidak dapat menjamin kenyamanan otak untuk berpikir, menghayal, karena kondisi pembelajarannya yang semakin "sumuk", doktriner, bahkan terlalu teoritis. Lebih baik belajar langsung dengan alam, tanpa "dogma".

Lalu, bagaimana jika santri mengaji, bersahiral-layali, berdzikir, bersemedi (bahkan) tanpa naungan pesantren? Jadilah santri di alam raya, hafalkan nahwu dan shorrof di alam terbuka, kunyahlah kitab ihya' 'ulumuddin goresan Imam Ghazali itu, tanpa suruhan kiai atau pun ustadz. Tunduklah pada alam, bukan pada kiai. Apa pasal? Berangkat dari "Sorban Yang Terluka", tampaknya pesantren tidak bisa menjadi "garansi" keilmuan santri.

Tuan dan Puan bisa saja setuju atau menolak gagasan ini. Tapi, mau tidak mau, cepat atau lambat, manusia akan hidup di alam bebas, berbaur dengan lautan samudra keilmuan, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat dan dinding-dinding "gubuk tua" itu.


*Penulis Sorban Yang Terluka (2009)

No comments:

Post a Comment

komentar Anda sangat membantu kami mengembangkan isi blog ini...terimakasih!