Saturday, July 18, 2009

Pulau Indah Bernama Pesantren

Oleh: Abdul Waid*


Pesantren. Sebuah gubuk yang menggetarkan hatiku setiap mendengarnya. Selaku insan produk pesantren –sekalipun banyak yang mengatakan aku adalah produk gagal— gubuk itu selalu kukenang sepanjang masa, sepanjang belas kasihan Ilahi Robbi menambah angka-angka umurku. Jasa pesantren sangat besar dalam titian hidup dan cintaku. Dari doa-doa kiai, petuah dan wejangan tanpa pamrih yang tak pernah kenal bosan itulah mengalir beragam karya dan imajinasi dalam setiap deru nafasku.

Selamat datang di pulau indah. Bagiku, pesantren bak sebuah pulau yang menyimpan sejuta keindahan. Semua sudah berubah. Saat kembali kuinjakkan kaki di halaman pesantren, spontan kesimpulan itulah yang muncul di benak setelah lebih dari lima tahun tak pernah kucium tangan kiyaku. Kamar mandi santri sudah bertambah banyak. Dapur yang tempo dulu kutempati melahap nasi (selalu) berlauk tahu tempe, kini tampak lebih ciamik dari lima tahun lalu. Pohon nangka yang dulu masih setinggi betisku, kini melebihi tingginya atap kamar santri, bahkan berbuah lebat.

Suara santri yang menyahdukan qiroatul qur’an terdengar tampak lebih menyahut hati. Dulu, tidak ada apel pagi. Sekarang, acara apel tak hanya digelar setiap pagi, menjelang jam tidur pun masih sempat apel secara rutin. Saat aku nyantri di pesantren dulu, tak ada fasilitas televisi yang menyiarkan berita dunia, sehingga santri tak banyak tahu perkembangan. Kini, kotak ajaib itu siap saji untuk selalu dilirik, tentu saja waktu dan kondisinya ditentukan.

Pesantren yang mendidikku selama enam tahun itu memiliki banyak “catatan kaki” dalam perjalananku menjadi seorang manusia yang selalu memanja anak kata dan tinta. Barisan santri dengan ciri khas sarung dan peci hitamnya seolah memaksa diriku menengok masa lalu sejenak, masa-masa hidupku di pesantren yang tak kan pernah kuhapus dalam catatan harianku. Bukan sekadar bernostalgia, melainkan membuka ruang kesadaran agar aku selalu belajar dari kearifan sejarah segala peristiwa di pesantren tempo dulu.

Ya, semuanya sudah berubah. Tapi,ada yang tak berubah, dan mungkin tak akan pernah berubah. Dulu kiaku selalu membangunkan santri dari tidurnya menjelang shubuh. Kini aktivitas itu masih beliau lakukan dengan tekun. Dulu kiaku selalu “berapi-api” jika berpidato, menasehati, mendidik, mengajar santri, kini semangat itu masih terawat utuh, bahkan jauh lebih semangat dari masaku –sekalipun usianya sudah semakin bertambah. Kiai, para ustadz masih tetap ihklas berdiri di depan muka santri, menyampaiakan pelajaran muthala’ah, imla’, mahfudzat, bahasa Arab, bahasa Inggris, nahwu, sharraf, fiqh, tajwid, dan setumpuk ilmu lainnya, walaupun tak pernah mendapat imbalan “receh”.

Dulu santri senang bertahajud, kini kegiatan sahirallayali itu masih tetap dilakukan. Ukhuwah islamiyyah dan dunia tasawwuf di pesantren tak pernah luntur. Nilai keihlasan, kesederhanaan, kebersamaan (ternyata) tetap terpelihara sepanjang hayat. Tasbih itu selalu berputar mengiringi munajat kiai, ustadz dan para santri. Doa kiai tetap terlantun indah menyentuh sanubari. Masjid itu tetap ramai dengan takbir, tahmid dan tasbih.

Jiwa pondok pesantren dan penghuninya masih tetap seperti dulu. Tetap ihklas, tanpa pamrih, memiliki mata satu, yaitu semata-mata untuk kehidupan akhirat. Kadang aku berpikir, alangkah sejahteranya rakyat di negeri ini jika para punggawa bangsa berjiwa seperti para penghuni pesantren. Tidak ada penyelewengan, korupsi, bahkan mungkin juga tak akan ada pengeboman seperti yang dilakoni terorisme.

Aku merasa betapa besar kerugianku lantaran setumpuk ingatan, kenangan, kreativitas, perjuangan lillahiat’ala, keihlasan dalam pesantren itu kini tak bisa kunikmati secara langsung lagi. Aku rindu tamparan kiaku. Aku masih ingin merasakan amarahnya. Kapan aku bisa mendengar caci makinya kembali? Karena, baru kusadari, dengan tamparan, amarah, caci maki kiakulah aku bisa hidup seperti sekarang seraya kurasakan kasih sayangnya.

Aku tidak dapat belajar ilmu pengetahuan yang terkandung dalam hidup ini untuk bisa dijadikan pijakan bertindak di hari esok, tanpa jasa pesantren dan didikan kiaiku dulu. Esok atau lusa, kuberjanji dalam hati, kan kutulis “mukjizat” itu dalam sebuah memoar sebagai rasa terima kasihku pada pesantren. Untuk kiaku, salam hormat dan ta’dzim dariku.

Penulis Buku Sorban Yang Terluka (2009), sedang menggarap Tasaawuf Kultural ala Pesantren (akan terbit).

No comments:

Post a Comment

komentar Anda sangat membantu kami mengembangkan isi blog ini...terimakasih!