Monday, August 10, 2009

Silakan comment Anda

berikut ini saya kutipkan komentar-komentar dari sebuah posting ttg seks sejenis di pesantren (merupakan review thd buku yg terbit tahun 2005).

mungkin bisa menjadi bahan renungan dan wacana alternatif bagi Anda, para pengunjung Sorban yang Terluka blogz. Dan jika Anda tergelitik, silakan kasih komentar ya...

------

WORLEWOR Says:

December 6, 2007 at 6:38 am
Saya pernah lihat di toko buku, tentang peyimpangan di pesantren yang pelakunya justru Kyai dari pesantren tersebut. Mungkin menarik juga kalo di muat di blog ini


najwa Says:

December 6, 2007 at 8:10 am
Praktik seks menyimpang sebenarnya ada pada setiap sisi masyarakat, baik itu di pasantren atau pada kumpulan masyarakat lainnya.
Tetapi yang membuat kita miris melihat kadaan ini adalah pelakunya adalah santri-santri yang notabene adalah calon-calon tokoh masyarakat. Bagaimana nantinya bentuk masyarakat yang akan meneladani tokoh yang pernah dan “menikmati” praktek seks menyimpang seperti ini ?
Astagfirullah ………..
Sepengetahuan saya, di Kota M di Kalimantan yang menjadi kota santri terkenal, ada juga praktek-praktek seks menyimpang dari beberapa oknum santri dengan memanfaatkan “Mahnus” atau banci-banci untuk sekedar mendapatkan uang tambahan.

^anyelir^ Says:

December 7, 2007 at 3:41 pm
Waduh…….


andriano bobby Says:

January 20, 2008 at 3:34 pm
saya aktifis LSM untuk HIV/AIDS,
saya pernah melakukan survey kepada kucing (sebutan utk pelacur gay) di jakarta,sebagian dari mereka mengatakan bahwa mereka alumnus pesantren dan alasan masuknya mereka ke dunia prostitusi gay karena mereka sering melakukanya di pesantren dengan terpaksa ataupun sukarela.
silahkan anda fikir sendiri pernyataan saya ini. terima kasih


ulik Says:

February 26, 2008 at 4:25 am
aku dah baca buku ini, karena memang sy mlakukan riset buat film. sebenarnya di skripsi jurusan Sosilogi Universitas Jember mengupas lebih riil masalah mairil ini. sedang dibuku ini, sy sendiri mengatakan agak tidak nyambung antara non fiksi didepan dan fiksi di belakang, seperti terpisah, mungkin kalau bisa lebih menyatu lebih baik,
sebenarnya bukan cuma mairil yang menjdi keprihatinan di pondok pesantrean tradisional, masalah kesehatan dan sanitasi juga sebaiknya segera menjadi perhatian temen2.


Ordinary Man Says:

February 26, 2008 at 8:21 am
kalo yang gesek2 di metromini itu nyempet bukan…?


diah rofika Says:

August 26, 2008 at 6:20 am
Penyimpangan seksual di Pesantren mungkin memang ada. Saya sendiri tidak pernah mengetahui dengan pasti meski selama enam tahun nyantri di sebuah pondok pesantren di daerah Muntilan Magelang. Hanya dari mulut ke mulut saja mendengar bahwa santri putri ini terlibat affair dengan santri putri ini.

Saya setuju dengan komentar Ulik, selain masalah penyimpangan seksual ini, masalah kebersihan dan kesehatan mesti mendapat perhatian yang lebih terutama di kalangan santri putri yang lebih rentan terkena penyakit alat reproduksinya.

Sepertinya hadist yang mengatakan bahwa kebersihan sebagian dari Iman belum bisa diterapkan dengan benar di pesantren.

Pembuatan kamar kecil meski mendapatkan perhatian lebih untuk mencegah terjadi penularan penyakit ke sesama santri


ahmed Says:

August 30, 2008 at 1:19 pm
sex sesama jenis di pesantren, mungkin saja, soalnya dlm kehidupan di ma’had kan semuanya laki, kemungkinan ada santri yg suka ke santri lain ato ke santri yg senior, biasanya santri yg senior memberi perhatian lebih ke pasangannya, bisa saja mereka melakukan sex pd saat jam2 tidur santri, mereka bisa melakukannya dg diam2 tanpa ada yg tahu, ato saat waktu masa libur, bisa aja sepasang santri janjian utk tdk pulang, tp mereka melakukan sex dgn bebas, soalnya gw pernah pny temen anak ma’had, klo liat gw lama kali, kdg curi-curi pandang ke gw, kali punya hasrat ke gw, soalnya mereka ga boleh bicara ke lain jenis, palagi tatapan muka, haram katanya, tp klo liat sesama jenis lama, napsu kali ya…….


Luna Says:

October 24, 2008 at 1:26 am
hi..aku juga mau bagi2 cerita, kebetulan aku juga perna tahu kehidupan pesantren, abnormalitas seksual kaya gitu lumayan sering aku lihat. mungkin yang penting sekarang solusi buat masalah itu. masukan buat orang2 yang punya kekuasaan ne di pesantren. ada baiknya kalo diadakan semacam bimbingan gitu.


Khairun Fajri Says:

October 27, 2008 at 10:25 am
Oh iya, emang gitu kok..emang bener kok ada kejadian ini..Ini adalah salah satu lubang hitam dalam tradisi pendidikan keberagamaan kita.


letitia Says:

November 15, 2008 at 8:13 am
mengerikan !!!!!


Al FarRidLlaH Says:

November 19, 2008 at 3:42 am
sebenarnya hal tersebut dipicu selain dari faktor lingkungan,di pesantren intensitas interaksi tinggi, yang menjadi faktor utamanya adalah kurangnya pendidikan yang diberikan di pesantren yang menanamkan pemahaman islam secara utuh, yang berarti pendidikan di pesantren tidak hanya sekedar belajar ilmu namum seharusnya ditekankan adalah penanaman nilai-nilai aqidah yang kuat sehingga pemahaman nilai-nilai aqidah yg diajarkan internalisasi dengan baik.


putra Says:

November 29, 2008 at 7:27 am
masih ada yang jual novelnya?


mario Says:

December 13, 2008 at 5:37 am
aq tertarik ama buku ini, apa di gramedia atau telogo mas uda ada ngak ?
cz aq juga Gerang atas apa yang dilakukan ama anak pondokan…….


Wisjnoe Rahardi Says:

December 29, 2008 at 7:21 pm
Sangat bertolak belakang sekali tindakan itu semua dengan hukum Allah. Padahal Allah telah mengutuk mereka yang homo atau lesbian (seperti kaum Nabi Luth A.S) ataupun yang bukan (laki-laki dan perempuan). Kita diingatkan dengan ayat 30 – 31 dari surat An Nuur supaya kita mengendalikan pandangan dan berkholwat dengan para wanita. Dan larangan berzina di surat Al Isra’ ayat 32. Wallahu a’alm bishowwab


Ahmad Irfan YZ Says:

January 4, 2009 at 7:55 am
Saya seorang santri, menurut saya pribadi, kayaknya pemakaian kata “Tradisi” untuk kasus penyimpangan seksual di pesantren itu tidak tepat. Penggunaan kata “tradisi” seolah-olah memberikan konotasi bahwa hal tersebut sudah jamak, lumrah, legal, dan direstui… Padahal, dari sudut pandang apapun, hal itu tidak semestinya terjadi. Dan tidak semua santri menganut “madzhab” ini.
Bahwa memang penyimpangan itu terjadi, adalah fakta. Sebagaimana penyimpangan-penyimpangan lain di dunia luar pesantren. Tapi secara institusional, saya yakin tak satupun pesantren melegalkan praktik yang menyimpang ini, bahkan di beberapa pesantren besar seperti Nurul Jadid Paiton, Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, dan Sidogiri Pasuruan, sanksi untuk pelakunya sangat keras.


lail ar rahman Says:

January 12, 2009 at 11:50 pm
Kayaknya gak gtu bgt deh. itu cerita jadul bgt.. skrg udah modern.


kopi cina Says:

February 4, 2009 at 7:37 am
lah, kepepet….


realita hdup Says:

February 24, 2009 at 5:46 pm
saya punya temen mantan santri, dia cowok, dan dia pernah diperlakukan tidak senonoh sama pengajar di pesantren itu. Padahal si pengajar ini sudah menikah tapi entah kenapa temenku ini pun jadi ‘korban’ babak guru itu.

Tapi, bnr lah kata buku ini karena temenku lantas ga jadi homo/gay, dia tetap nikah dan bahkan rekor dia menggauli cewek sangat banyak. Tapi, anehnya dia ga nolak juga saat diajak ‘kencan’ ama cowok. HUH.. Ga ngerti aku.

So, qta ga lantas nuduh semua santri seperti itu kan? hanya segelintir orang yang sperti itu. Kita harus sadar bahwa org sperti ini ada di mana2, bs jadi org terdekat kita. Entah itu guru, polisi, tentara, pejabat, dan siapa saja pasti ada.


Al_FaRridLLaH Says:

March 10, 2009 at 6:12 am
sebelumnya perlu diketahui dulu bahwa interaksi di lingkungan pesantren itu sangat intens, yang berarti bahwa kehidupan di satu asrama dengan santri maupun santriwati lainnya akhirnya secara tidak langsung akan tercipta hubungan emosi yang kuat. hal ini secara tidak langsung menimbulkan kasih sayang antar satu santri dengan santri lainnya. hal ini tentu saja sesuatu yang positif jika hubungan emosi ini didasarkan atas ikatan aqidah islam yang mengikat mereka sebagai sesama saudara dalam islam. hanya saja jika kasih sayang yang terjalin tersebut ternyata tidak didasarkan pada pemahaman islam seperti yang saya katakan sebelumnya, maka hal inilah yang kan menyimpang menjadi perasaan suka antar sesama jenis atau mairil…
so, yang perlu ditekankan adalah belajar di pesantren tidak hanya sekedar belajar ilmu namun yang juga menjadi hal utama adalah pemberian pemahaman islam yang benar pada setiap santri…


A. Tajul Arifin Says:

June 14, 2009 at 6:00 am
praktek prilaku sex menyimpang ini dalam dunia pesantren sebenarnya telah menjadi rahasia umum yang terjadi secarturun temurun..
namun dalam hemat saya selain aspek sosiolgis seperti yang disebutkan oleh penulis (yaitu ketatnya peraturan pesantren yang melarang pertemuan antar lain jenis), terdapat juga faktor psikologis, terkadang seseorang yang pernah menjadi “korban” maka suatu saat nanti dia yang akan mencari “korban”. ini sebenarnya tradisi alamiah (hukum alam) yang diakibatkan oleh hukum kausalitas di muka bumi.


muhammad dedy nasir sita Says:

June 14, 2009 at 6:33 am
realistis


muhammad dedy nasir sita Says:

June 14, 2009 at 6:35 am
kayaknya perlu di showpublic ni mas. biar ada pencerahan di kalangan santri dan saya kira faktual ini.ato masukin acara realityshow ya???dari pada ngawur acaranya sekarang ini…????


unnamed Says:

June 30, 2009 at 10:15 am
my girlfriend (wife wanna be) is mairil……. saya shock,…. tapi dah tlanjur cinta…..

Penulis Berani Mati

Oleh : Abdul Waid*

Membaca tulisan Zakki Amali di ruang ini, Teks, Konsekuensi, dan Kebenaran (5/7/09), saya merasa mendapat motivasi dan pencerahan yang turun dari langit. Kulil haq walau kana murran, begitu kira-kira yang saya simpulkan dari paparan Zakki Amali. Setiap penulis dituntut untuk berani mengambil risiko besar dalam mengungkap sebuah kebenaran dan bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya.

Bak pepatah pucuk dicinta ulam tiba, tulisan Zakki itu seakan memberi dorongan dan dukungan kepada saya yang saat ini lagi dirundung ''masalah'' dan ''teror'' karena kepenulisan. Tidak banyak yang tahu tentang persoalan yang saya hadapi karena memang bukan termasuk kasus yang ''pantas'' dihebohkan. Hanya, barangkali saya perlu mengulasnya di ruang ini sebagai iktibar bagi para penulis.

Beberapa waktu lalu, saya dikecam oleh banyak pihak, khususnya kalangan insan pesantren menyusul terbitnya buku saya berjudul Sorban Yang Terluka (www.sorbanyangterluka.blogspot.com). Mereka alergi dengan apa yang saya tulis. Pasalnya, dalam buku itu, saya mengungkap berbagai cerita miris yang tersimpan di balik kesucian pesantren. Misalnya, homoseksual, lesbian, pornografi, perjudian, perdukunan, mabuk-mabukan, kemunafikan, keterlibatan kiai dalam politik, pencurian, korupsi, bahkan ganja di pesantren.

Kasus-kasus itu saya angkat berdasar hasil penelitian dan investigasi di beberapa pondok pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa. Dan, beberapa di antaranya berdasar pengalaman-pengalaman yang saya temukan secara langsung selama nyantri di beberapa pesantren.

Ketika akan menerbitkan buku itu, saya sempat waswas. Saya dihadapkan pada pilihan sikap paradoks. Di satu sisi, banyak kalangan yang menganggap bahwa buku tersebut dapat mencemarkan nama baik pesantren. Berbagai ancaman datang sebagai penolakan terhadap buku itu. Mulai ancaman penarikan dari pasaran, pembakaran, hingga ancaman penuntutan di meja hijau. Tapi, saya tetap yakin, yang saya tulis adalah sebuah fakta kebenaran yang tak terelakkan, namun masih ''terselubung'' dan ditabukan.

Di sisi lain, buku itu bertujuan membuka tabir yang selama ini menjadi ''sisi lain'' dari kehidupan pesantren. Secara idealitas, saya ingin ''menyelamatkan'' pesantren dari berbagai cerita miris seperti itu. Tentunya, agar kalangan pesantren -terutama para kiai- dapat melakukan evaluasi, introspeksi terhadap kehidupan santri dan sistem pembelajaran di pesantren.

Tapi, apa lacur, justru sebaliknya, buku itu ditanggapi ''miring''. Bahkan, ketika buku tersebut dibedah di Pamekasan, Sampang, beberapa waktu lalu, tak ada seorang pun dari peserta -termasuk pembicara- yang mendukung saya. Hampir semua menyudutkan saya, bahkan ''meneror'' mental saya. Lebih dari itu, oleh kiai, saya dianggap santri yang mal'un (terlaknat). Meski demikian, saya tetap berterima kasih dan takzim kepada beliau karena apa pun sikapnya, saya yakin semata-mata untuk ''mendidik'' saya.

Ada yang berkomentar, saya hanya mengejar keterkenalan dari buku yang saya tulis. Atau, tak ubahnya mencari sensasi belaka. Apa pun penilaian orang, itu hak mereka sebagai pembaca. Namun, terlepas dari unsur pragmatisme dalam setiap penulis, siapa saja tentu juga punya hak untuk mengungkap sebuah fakta dan kebenaran melalui sebuah tulisan.

Melalui pengalaman ini, tampak jelas bahwa sikap berani mati adalah syarat utama bila ingin menjadi penulis dan memberikan kontribusi berarti kepada masyarakat. Sikap berani mati dibutuhkan oleh para penulis agar mereka bisa menghasilkan karya yang menarik sekaligus mendalam.

Apa yang saya alami (mungkin) dapat dibilang sebuah imitasi. Dalam banyak pengalaman, terdapat beberapa penulis yang berupaya mengungkap sebuah kebenaran, namun justru dipertentangkan oleh banyak pihak. Misalnya, IIp Wijayanto dengan buku Sex In The Kost, Moammar Emka melalui Jakarta Undercover, atau Inu Kencana dengan IPDN Undercover adalah beberapa penulis yang ''berani mati''. Mereka banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Menurut saya, dalam menulis, modal ''segudang pengetahuan'' saja belum cukup. Seorang penulis atau yang ingin memilih profesi sebagai penulis harus punya keberanian untuk mati, punya nyali untuk menyatakan pikiran, dan membuka tabir apa yang selama ini belum diketahui masyarakat, sekalipun itu tabu dan mengundang risiko besar.

Kita bisa mengambil teladan dari Pramoedya Ananta Toer. Karena menulis, Pram dipenjara pemerintahan Belanda, Soekarno, dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Namun, dengan sikap berani mati, masyarakat hari ini bisa memetik hasil goresan pena Pram. Banyak ''kebobrokan'' yang tersembunyi justru terkuak oleh karya-karya Pram.

Jika kita mau jujur, banyak penulis di sekeliling kita yang hanya menulis karena ''takut'' hasil karyanya ''dimejahijaukan'' atau menulis karena tekanan politik. Implikasinya, banyak cerita miris yang tak tersentuh oleh penulis. Dapat dimaklumi, mereka tak punya keberanian untuk mati dalam mengungkap fakta dan realitas dengan tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel.

Maka, sekali lagi, jika ingin menjadi penulis ''profesional'', sikap berani mati adalah syarat mutlak yang harus dipegang seorang penulis. Dalam menulis, penulis berbicara tentang kebenaran. Penulis harus berani menyatakan kebenaran, walaupun pahit. Tentu saja, sikap berani mati bukan berarti ngawur. Keberanian harus diiringi dengan kejelian dan tanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya. (*)

*) Abdul Waid, penulis buku Sorban Yang Terluka (2009)
dikutip dari sini

Mengumbar atau Membukakan mata?

Guest wah ini bisa gawat klo sisi buruk pesantren diumbar kayak gini!biar Allah yang membalas-Nya
2009-08-10 8:23 AM #



pernyataan seorang tamu di blog ini, sebagaimana dikutip di atas, cukup menggelitik nalar kita. Yang perlu diperdebatkan adalah sejauhmana informasi dalam sebuah buku dan blog dianggap mengumbar, ataukah sekadar menginformasikan. Saya pernah dicurhati oleh sang penulis Sorban yang Terluka, bahwa di Madura ia sempat diinterogasi dan disidang oleh para kiai di sana untuk mempertanggungjawabkan bukunya. Singkat kata ia berhasil membela diri, setidaknya ia masih bisa selamat balik ke pulau jawa (mungkin telah mencicipi Suramadu). Ia menganggap aksi "kebakaran jenggot" dan mencak-mencak itu sebagai reaksi wajar thd bukunya yang memang cukup menggemparkan, namun ia agak mengeluh mengapa karya tulisnya tidak dijawab dengan karya tulis juga oleh orang-orang yang menghujatnya.
So, terserah Anda untuk menilai...

Tuesday, August 4, 2009

From modz: Sedikit mempublish dan mengulas buat rekan-rekan yang telah menyempatkan waktunya berkomentar di shoutbox

2009-08-04 2:35 AM
madha soal homoseksual dll jumlahnya sangat kecil,itu kasuistik, aktifitas orang perorang bukan menjeneralisir pesantren. dr 1000 santri hanya 1 kriminal.

#Betul itu! Di tiap masyarakat (dan pesantren adalah miniatur masyarakat) pasti ada yang menyimpang, entah itu 1persen 20persen. Dan dengan adanya orang yang menyimpang dari norma ini, bukan berarti masyarakat/komunitas itu menjadi rusak seluruhnya. Namun, memang perlu ada usaha-usaha untuk dakwah, untuk menyadarkan, untuk menegakkan norma, bahkan untuk menindak jikalau penyimpangan tersebut sudah merajalela. Salah satu usaha untuk dakwah adalah dengan menyadarkan masyarakat bahwa penyimpangan itu memang ada, dan setelah itu barulah diambil solusi yang tepat, dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai pihak. So, bukannya bermaksud membela, namun buku Sorban yang Terluka adalah diniatkan untuk mengingatkan rekan-rekan yang masih peduli dengan pendidikan, khususnya pesantren, bahwa ada kegiatan dan nilai yang tidak bener yang dilakukan sebagian (kecil) santri, dan kondisi ini perlu dibenahi.

2009-07-28 4:03 PM #
hamba tuhan adakah buku yang telah mengkonter buku sorban ini? kalau ada tolog infokan, saya perlu banget.

#Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu. Seharusnya ada buku yang menjawab, meluruskan, mengkonter, atau bahkan membenarkan dan menguatkan tesis dan fakta-fakta yang diungkap oleh Sorban yang Terluka. So, akan klop sudah, karena tulisan dibalas dengan tulisan, buku dengan buku, begitu… Jika ada rekans yang berminat menulis, silakan kontak ke modz (odehief@yahoo.com), nanti akan dihubungkan ke penerbit untuk segera dipublikasikan.

2009-07-24 1:41 PM #
manusia biasa Pesantren bukan wahyu Tuhan yang anti kritik

#Benar! Pesantren pun bisa salah, dan perlu selalu memperbaiki diri. Buku Sorban yang Terluka adalah salah satu upaya kritik, introspeksi, dan koreksi tersebut.

2009-07-11 5:58 PM #
Penulis Sorban Yang Terluka Ki Sanak,, kapan kau tangkis penaku dengan pena? Agar rakyat kita sejahtera, jangan tangkis penaku dengan senjata murahan, Ki Sanak.

#Nah!

2009-07-09 5:19 AM #
Elka bagi pembaca, jgn telen bulet2 dicerna yg bener!!!

#Setuju!!

2009-07-05 6:12 AM #
hamba Allah kalo' ada yg melanggar pasti dikeluarkan, betul ga'atau jangan-jangan penulis termasuk santri yg dikeluarkan coz sering ngelanggar? dendam nih ye*_*

#Hehe, ini yang bisa jawab sang penulis Sorban yang Terluka. Ntar saya tanyakan ya, dia pernah dikeluarkan ato nggak, hehe…

2009-07-01 12:42 AM #
hamba Allah kalau mau karyanya dihargai g' perlu menjelekkan pesantren. blm tentu yg masuk penjara orng yg salah semua = pesantren blm tentu org sholeh semua

#Menurut saya sih bukan menjelekkan, tapi memaparkan fakta (yang riil ditemui sang penulis) yang memang pahit untuk dibaca atau diketahui. Suka tidak suka, itulah fakta. Langkah selanjutnya, bagaimana memaknai fakta ini? Adakah yang bisa dijadikan hikmah dan saran perbaikan?


2009-07-01 12:36 AM #
ami rizki memang yg mnarik yg beda!

#Betul!!

2009-06-30 12:15 PM #
aniez yang terluka Ya Allah..... Kenapa Kau ciptakan orang seperti dia yang telah menerbitkan buku non qualified alias mengumbar2x kekurangan dari pendidikan pesantren?

#Mengenai kualitas buku, ya biar pembaca masing-masing yang menilai. Namun memang Allah menciptakan orang macam-macam, ada juga yang bertugas membongkar keburukan yang ditutupi…

2009-06-30 5:23 AM #
bintu hawa bagi2 alamat email penulisx dong, kirim ke mail

#kirim ke email modz aja, nanti saya sampaikan.

© O ShoutMix

Untuk terapi, kaum gay dan lesbi dimasukkan ke pesantren

Ada suatu kabar, yang berkebalikan dengan tesis yang dikembangkan dalam sorban yang terluka, bahwa pondok pesantren (ponpes), atau tepatnya sebagian penghuninya, ada yang berkelakukan menyimpang, yakni menjadi homoseksual (gay dan lesbi).
Kabar yang modz peroleh dari suatu forum, bahwa kompas.com pernah merilis kabar tentang gay dan lesbi yang hendak dimasukkan ke ponpes sebagai sarana penyembuhan. Ada beberapa pihak yang khawatir ataupun mengkritik bahwa usaha ini bisa juga diartikan sebagai sarana melegalkan homoseksual melalui pesantren.
Akan tetapi, jika dipikir dengan jernih, masuk dan belajar di ponpes adalah untuk belajar agama. Dengan belajar agama, kita akan tahu mana yg boleh/baik dan mana yg tidak boleh/tidak baik berdasarkan agama. Tentu hal ini akan berdampak positif jika kaum gay/lesbi memang berniat mendalami/memahami agamanya secara benar. Gay/lesbi yg disebabkan oleh lingkungan akan bisa diubah melalui lingkungan juga, atau setidaknya jika si gay tidak mampu mengubahnya, minimal dia tidak melakukan hubungan seks dengan sesama jenisnya, dan kekurangan atas orientasi seksnya bisa dikompensasikan dengan memperdalam ilmu agamanya....
Mudah2an kekhawatiran ponpes ini dijadikan legalitas homoseksual itu hanya kekhawatiran orang luar saja dan tidak terjadi disana, dari "asrama" dan mereka akan didik/dituntun/diajari mana yg baik dan mana yg buruk. Mereka pasti bisa kembali normal. amin
Nah, bagaimana pendapat Anda? Bagaimana dengan interaksi santri yang berbakat atau berperilaku homoseksual, ketika dihadapkan pada pelaku asli homoseksual? Akankah terjadi antitesa?